SELAMAT DATANG DI SENJANG BUDAYA SASTRA

Jika semua orang kita anggap bersalah, maka kesalahan yang terbanyak adalah dari kita. karena salah itu wajar, adakalanya dari sebuah kesalahan akan melahirkan beberapa kebaikan.

Senin, 13 April 2009

Mitos dan Sindiran dalam Novel Umang




Penulis Novel 'Umang' saat bersama dengan Almukarrom Prof.KH.Mustofa Bisri (Gus Mus) pimpinan PP. Roudotut Tholibin Rembang Jateng






Penulis Novel "Umang" (Baju lengan Pendek)
saat di GRIYA AGUNG Palembang
bersama Bpk. Guburnur Sumatera Selatan (Kanan)
Bpk. Dodi Reza Alex noerdin (paling kiri)
Ketua Depontren Sumsel KH. Hendra Zainuddin, M.Pdi (kiri penulis)

Mitos dan Sindiran dalam Novel Umang

Oleh : M. Sakdillah.*)

Dunia beserta isinya adalah bayang-bayang (aghyar). Bayang-bayang dalam sebuah cermin. Dengan segenap perhiasannya (mata'), dunia dikenang dan dicinta. Tapi, cinta dunia tidaklah abadi. Bayang-bayang dalam sebuah cermin bagaikan tangkai dengan buahnya. Terkadang ranum, terkadang mengkal. Di dalam susastra dikenal istilah istiarah atau bahasa kiasan yang berbentuk sarkasme atau pun hiperbola. Bentuk-bentuk yang tak disadari. Begitu pula dengan mitos, dongeng maupun cerita fiksi, sulit dicari referensinya karena sifatnya. Akhirnya dipertanyakan, cerita itu fiksi atau fakta?

Fiksi dan fakta berasal dari akar kata yang sama di dalam kamus bahasa Inggris, yaitu fictie dan fact, masing-masing secara substantif terbentuk dari huruf-huruf f-c-t. Pertanyaan selanjutnya adalah di mana fiksi dan di mana fakta? Dari posisi inilah, tulisan ini berbicara "mitos dan sindiran" dari novel Umang (2009), karya penulis muda Ferry Irawan AM. (selanjutnya disebut Ferry saja). Meskipun, perdebatan fiksi dan fakta tersebut adalah perdebatan klasik bagi para pengamat sastra, karena dekatnya fiksi dan fakta, antara cerita bohong dan kebenaran. Hanya saja relevansinya yang harus dibawa ke "kenyataan" melalui relasi-relasi dan wacana-wacana yang mengitarinya. Intinya adalah novel Umang bisa diterima atau tidak, sukses atau tidak adalah jika terdapat relevansi makna esensial yang membawa pesan-pesan tertentu bagi manusia yang hidup di dunia realitas. Jika pesan-pesan itu gagal, maka cerita hanya akan berdampak sebatas hiburan dan cerita bohong. Dengan kata lain, pesanlah yang menjadikan cerita itu relevan atau tidak.

Membaca Umang

Faktor mitologi dalam karya Ferry sangat kental. Tidak hanya mitologi, dongeng-dongeng masyarakat yang menjadi social imagination pun tak luput dari tangkapannya. Hal ini menunjukkan kepiawaian sekaligus kekentalan yang pekat Ferry bersama realitas itu sendiri. Berawal dari cerita tentang diri yang hidup di tengah alam, Firman sang tokoh senantiasa hidup dirundung malang. Mimik manusia yang bergelut dan berlomba dengan alam memiliki bahasa alam itu sendiri. "Raja tunggal", "ilmu yang sekali jadi", "menjadi penyair", "menguasai alam ghaib" dan "menebak kejadian" adalah lambang-lambang superioritas alam yang serba aku. Aku yang egois. Memang, kata "aku" jika dibandingkan dengan kata "saya" kesan dan pesan bahasanya lebih egois dan superior. Kata "aku" telah menjadi sangat tidak berarti bagi seorang Khairil Anwar. Karena aku, Khairil Anwar tidak diakui dan terasing secara sosial oleh lingkungannya pada masa itu. Pemberontakan Khairil Anwar adalah penolakannya terhadap aku itu sendiri.

Dari alam, Umang menempatkan diri sebagai dunia yang belum terdeskripsikan dengan baik dibandingkan dengan novel-novel lain; meskipun telah banyak dan sering novel-novel berbau "agama dan simbol" menjadi bahan tulisan.

Secara esensial, Umang menampilkan dunia Jayaloka, daerah transmigran dengan karet dan alam lingkungannya sebagai "ibu" yang melahirkan sang tokoh yang tak lepas dirundung malang, sebagaimana terungkap dalam puisi bersajak berikut;

Hati pilu ditimpa merana

Hidup sudah sebatang kara

Ai … kini telah terusir pula.

Alam dengan pengalamannya (experiences) adalah dunia Firman sang tokoh. Firman adalah tokoh bentukan yang ditempa oleh alam. Dia mengenal lingkungannya. Dia bertarung dan berlomba dengan alam. Firman juga mengenal dongeng-dongeng "dusun" seperti dongeng hantu Sarabanon sebagai awal mula munculnya mitos dalam pikirannya. Dari alam dia belajar dan berinteraksi. Dari alam pula dia dapat. Dengan kata lain, karya dan penulis merekam alam lingkungannya; kejadian-kejadian, wacana-wacana, bahasa-bahasa dan idiom-idiom yang berlaku pada situasi dan kondisi tempat peristiwa itu berlangsung. Sebagaimana dunia santri dengan dinamika-dinamika guru-murid, syariah-tasauf maupun pesan dan dakwah. Dialog mitos Nyi Roro Kidul yang disesuaikan dengan syariat Islam yang merujuk pada ayat yang berbicara tentang Jin.

Firman merapal ajian Pangracut Sukma untuk menggambarkan konsep "makrifah" di dalam tasauf Islam yang tereduksi baik ke dalam jagad cilik dan jagad gede. Puncak jagad cilik dan jagad gede tergambar dalam diri Firman yang mencapai tahapan weruh sak durunge winarah, tahu sebelum diberi tahu.

…Niat ingsun matek ajiku, aji pengracut sukma, …liyep, cut prucut…cut prucut, ……sukmaning ingsun metu songko rogo, metu songko jasad kasar,
ngumboro tanpo batas ruang lan tanpo batas waktu,
manjing sak jeroning niatipun ingsun,…niat ingsun…
ngumboro…, ngumboro sakjeroning winaro,
ngumboro sakdurunge winaro, ngumboro sak wuse winoro…

Bahwa, konsep sufi yang tereduksi baik ke dalam cerita Jawa, Dewa Ruci dan Bima Sakti, umpamanya, tergambar pula dengan baik di dalam sosok Firman yang bertemu dengan Sunan Ampel atau Sunan Kalijaga. Rajin tirakat untuk mengenal nafsu-nafsu di dalam dirinya; jagad cilik (manusia) harus harmonis dengan jagad gede (alam raya), jika buruk jagad cilik maka buruk pula jagad gede. Di dalam tirakat manusia mengatur pola dan tingkah yang harmoni agar alam tidak marah dengan bencananya.

Dari aspek etika santri, memaafkan lebih baik daripada meminta maaf terkemas sebagai inti ajaran guru-santri yang mengutamakan etika kepatuhan, meskipun terdapat sebuah kebencian yang melebihi batas. Digambarkan dalam sejarah Islam, bagaimana Nabi Muhammad Saw. masih memaafkan Abu Sufyan tokoh Quraisy yang memusuhinya, memaafkan Hindun istri pamannya yang memakan hati Hamzah yang juga pamannya.

Dari aspek akidah-syariah terlihat pula dialog antara dua cinta yang berlainan agama, meskipun yang dimenangkan akhirnya adalah basic need, kebutuhan utama terhadap pesan-pesan fikih-ibadah dan akidah daripada pesan-pesan universal seperti pluralisme misalnya.

Membaca Realitas

Kritik sosial hanya tergambar sangat jauh ke dalam di dalam Umang. Tidak pada permukaannya. Jauh kembali ke dalam relung-relung sejarah. Kritik sosial yang bisa diambil adalah ke-aku-an sebagaimana Khairil Anwar. Jika realitas tidak menghendaki sang aku. Sifat superior Firman bisa dikatakan sebagai dunia sekarang yang sudah nyaris kehilangan figur sentral, tak ada lagi idola-idola yang hidup di dalam pikiran. Ketika manusia sibuk dengan aku-nya yang berada di depan televisi dan handphonenya.

Menurut teologi Islam, Aku adalah sifat Allah. Sebagaimana firman-Nya, Ana rabbukumul a'la. Aku-lah TuhanMu Yang Tertinggi. Manusia hanya meminjam ke-aku-annya kepada Allah. Manusia tidak lebih daripada makhluk yang miskin dan papa. Yang lemah dan bodoh. Ketika Nabi Muhammad Saw. mengumandangkan Allahu Ahad, maka ke-Aku-anNya sedang menyapa Ke-aku-an Abu Jahal, Abu Lahab, Abu Sufyan yang merasa terusik kesombongannya. Membaca realitas sekarang, siapa yang tidak lebih aku, kecuali aku?

Secara normatif, kemiskinan (kefakiran) dan kebodohan dalam sejarah Islam telah menjadi perhatian serius dalam perjuangannya. Banyak kalangan Islamisis atau intelektual muslim membahasakan perjuangan Islam adalah perjuangan terhadap kekafiran dan kemusyrikan, sehingga secara ideologis mereka berhadap-hadapan dengan ideologi atau agama di luarnya. Padahal, pada rentang sejarah perkembangan Islam itu sendiri, utamanya, pada Abad pertengahan, karena puncak pertentangan dan permusuhan bukan pada tauhidnya, melainkan pada ideologinya. Oleh sebab itu, di dalam Islam kemiskinan (faqir) dan kebodohan (Jahil) adalah musuh abadi, karena tidak pernah akan habis-habisnya. Hanya sikap (attitude) yang membedakan bagaimana memperlakukan keduanya.

Secara umum, memang kemalangan dan kemiskinan bisa dijumpai di mana-mana. Tidak di negara miskin, tidak pula di negara makmur sekalipun. Bisa dicari di negara mana yang tidak ada kemalangannya. Di Eropa, benua negara-negara pasca-makmur terdapat suku Gipsy. Di Amerika, suku negro baru sekarang mendapat tempatnya, bahkan suku Indian secara sistematis sekarang hanya tinggal sisa-sisanya saja sebagai warga negara asli, seperti orang Betawi dalam cerita canda masyarakat menjadi "tukang ukur tanah", karena tanah milik mereka telah dibangun gedung-gedung tinggi, seperti syair lagu-lagu Iwan Fals, Ujung Aspal Pondok Gede. Di negara Petro-dollar, Arab Saudi, para pengemis berbaris di teras-teras mesjid meminta-minta sambil mengumandangkan ayat-ayat suci. Dengan demikian, fenomena umum secara falsafiabilitas adalah bukan menunjukkan wajah sebenarnya.

***

Pembacaan ini merupakan pembacaan terhadap karya dan tidak melibatkan Ferry sebagai penulis. Pembacaan yang hanya sebatas interpretasi (penafsiran) yang justeru kebenarannya dikembalikan kepada Ferry itu sendiri sebagai pemilik pesannya.

Komunikasi antara pengirim pesan (Ferry) dengan yang dikirim pesan hanya berupa sindiran-sindiran yang tertata apik di dalam mitos yang tersurat dan tersirat di dalam Umang. Susastra menempatkan diri sebagai perantara atau media.

Sasaran Terakhir Bacaan alternatif di tengah derasnya arus informasi.

*) Penulis Independen tinggal di Lubuklinggau.

Tidak ada komentar: